(Mahasiswa Program Magister Pendidikan dan Pemikiran Islam
Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
I.
IFTITAH
Berbicara
dunia pendidikan Islam dan kemajuan-kemajuannya, maka kita akan terbentur
kepada tokoh-tokoh pembaharunya. Dengan pemikiran para tokoh tersebut, sekarang
kita menikmati aktualisasi pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Demi
reaktualisasi pengetahuan kita seputar tokoh tersebut, maka perlu rasanya
mengkaji ulang pemikiran dari para tokoh dan mengambil buah pemikiran tersebut
untuk kita realisasikan serta aplikasikan dalam pendidikan Islam yang akan datang.
Al-Ghazali
adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dunia yang ikut berpartisipasi aktif
dalam memajukan pendidikan Islam. Dengan partisipatifnya itu, dia menghasilkan
banyak karya-karya yang menjadi referensi dalam prosesi Pendidikan Islam.
Dengan
segudang prestasi yang diraih oleh al-Ghazali, tidak heran rasanya dia mendapat
gelar yang sama sekali tidak dia butuhkan yaitu “hujjatul islam”.
Acungan jempol dan rasa banggapun diungkapkan oleh para tokoh ulama, berikut
penulis sajikan komentar para ulama tentang seberapa berhak Al-Ghazali
menyandang gelar tersebut yang di nukil dari uraian singkat Sholeh Ahmad
As-Syamy[1];
Ad-Dzahabi
mengatakan bahwa “Dialah Syeikh Imam yang ilmunya mensamudera, Hujjatul
Islam, Keajabaian yang pernah dimiliki zaman, Hiasan agama, melahirkan
karya monumental dengan kecerdikan yang luar biasa”. Disusul komentar oleh Ibn
Katsir yang mengatakan bahwa “Dia menguasai banyak sekali ilmu, melahirkan
karya yang sangat banyak dalam berbagai disiplin keilmuan, sehingga dengan
kecerdasannya menjadi yang terdepan dalam membicarakan persoalan apapun”.
Imam
Haromain pun menguraikan komentarnya mengenai Al-Ghazali bahwa “Dia
adalah bahtera yang mensamudera”, dilanjutkan oleh Ibn Jauzi beropini bahwa
“Al-Ghazali mengarang kitab yang sangat baik, sangat sistematis, dan jelas”. Tidak
mau kalah, Ibn ‘Ammad Al-Hanbali yang berkata “… Kesimpulannya, saya tidak
pernah menemukan orang yang luar biasa seperti dia (Al-Ghazali).
Dan sebagai pamungkas, cukup kiranya
komentar dari syeikh Al-Maraghi mewakili yang lain dalam kelayakannya
menyandang gelar “Hujjatul Islam”; Jika di sebutkan nama para ulama,
maka pandangan akan mengarah kepada
spesifikasi kepakaran ilmu yang di gelutinya. Ketika di sebut nama Ibn Sina
atau al-faraby, maka yang terlintas di benak adalah seorang filosof agung yang
pernah islam miliki. Jika di sebut nama Ibn ‘Arabi yang terlintas adalah
seorang sufi besar yang pendapatnya sebagian harus di seleksi. Jjika di sebut
nama Bukhari, Muslim dan Ahmad yang terlintas adalah seorang yang kuat
hafalannya, jujur, terpercaya. Dan jika nama al-Ghazali di sebut, maka yang
terlintas bukan hanya seorang dengan satu kepakaran saja, namun menghimpun
banyak orang dalam berbagai bidang keilmuan. Yang terlintas adalah seorang
ulama ushul yang cerdas dan pandai, ahli fiqih yang tidak fanatik, Imam pembela
Theologi ahli sunah, seorang pakar ilmu
alam dan kejiwaan, seorang filosof ulung atau seorang yang dapat menghancurkan
“filsafat” itu sendiri, Ahli pendidikan, Sufi yang zuhud. Atau sebutlah sesuai
dengan apa yang terlintas dalam benak kalian, misalnya seorang yang haus akan
ilmu atau lainnya, niscaya al-Ghazali senantiasa berhak mendapatkannya.”[2]
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad Ibn Muhammad at-Thusi Al-Ghazali yang dilahirkan pada pertengahan abad
ke-5, tahun 450 H/ 19 Desember 1058 M.
Dia dilahirkan di kota Ghazlah, sebuah kota kecil dekat Thus di
Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia
Islam. [3] Ayahnya
hanya seorang pemintal Wol di kota Thus namun berkepribadian sangat baik. Pada
waktu luangnya, beliau senantiasa konsisiten menghadiri majlis ulama,
membaktikan diri kepada mereka, memberikan nafakah semampu yang dia punya,
hatinya sangat lembut, hingga jika mendengar ucapan ulama sangat mudah untuk
menangis dan senantiasa memohon kepada Allah agar dianugerahkan baginya anak
yang ahli dalam fiqih.[4]
Sebelum meninggal, ayahnya memasrahkan
al-Ghazali dan adiknya Ahmad kepada sahabatnya, seorang sufi dengan bekal hasil
jerih payah ayahnya. Ketika bekal dan harta sahabat ayahnya tersebut sudah
habis, dia menghimbau kepada al-Ghazali dan adiknya agar mencari
madrasah yang dapat menampung mereka.[5]
Karena di masa tersebut banyak madrasah yang di sediakan pemerintah bagi
penuntut ilmu yang kekurangan biaya.
Beliau memulai proses belajarnya
kepada Abu Hamid Ahmad Ibn Muhammad Ath Thusi Ar Radzkani.[6] Setelah
itu ke Jurjan kepada Nashr al-Isma’ili untuk memperdalam Bahasa Arab dan Bahasa
Persia. Kemudian beliau memulai awal perjalanan hebatnya di Nizapur untuk belajar
fiqih, ushul fiqih, mantik dan ilmu kalam di Madrasah Nizhamiyah pimpinan al
Juwaini al- Haramain yang bermadzab Syafi’i dan Asy’ari, yang pada saat itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia Islam.[7]
Berikut tokoh-tokoh tempat Al-Ghazali menimba ilmu; Abu Hamid Ahmad bin
Muhammad ar-Radzkani di Thus, Abu Nashr al-Isma’ily di Jurjan, Imam Haromain di Nisapur. Dalam
ilmu Tasawwuf; Abu Ali al-Fadl bin Muhammad
bin Ali al-Farmady at-Thusiy. Beliau termasuk murid terpopuler dari Abi
al-Qasim al-Qusyairi pengarang “ar-Risalah”. Kemudian di akhir hidupnya,
Al-Ghazali memperdalam ilmu Hadist kepada Abu Sahl al-Marwazy dan Muhammad bin
Yahya Az-Zuzny.[8]
Di Nisapur inilah karir al-Ghazali di mulai. Hal ini tercermin dalam penuturan Az-Zubaidi; “kemudian
dia mendatangi Nisapur dan dengan setia menyertai imam haromain sehingga
menjadi pakar dalam Ilmu Fiqih, Dialog (jadl), Ushul, Mantiq, Filsafat, Hikmah,
dengan mengetahui seluk beluknya,dan mengarang karya monumental yang terkait dengannya.”[9]
Dengan demikian, meningkatlah kedudukan al-Ghazali dihadapan wazîr dan
akhirnya dia diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nizâmu al-Mulk di
Baghdad[10] pada tahun 484 H. Suatu perguruan Tinggi yang mahasiswanya di huni para
ulama. Dia sangat
disegani dan dicintai, karena kehalusan bahasa dan keilmuannya. Setelah empat
tahun sibuk dengan aktifitas mengajar di Madrasah tersebut, tumbuhlah dalam
jiwanya perasaan zuhud dari kehidupan duniawi, sehingga ditinggalkannya jabatan
ini karena ingin menyendiri (uzlah)[11].
Dia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488
H. dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di negeri ini dia hidup
menyepi dan menjauhkan diri dari segala kesibukan duniawi. Kemudian pergi ke Mesir
tinggal beberapa waktu di Iskandariah, lalu kembali ke kampung halamannya Thus.
Di sini dia menyibukkan diri dengan mengarang kemudian kembali ke Nisaphur
untuk memberikan pengajian. Tapi akhirnya dia memutuskan kembali ke kampong
halamannya, Thus menghabiskan sisa hidupnya untuk memberikan pengajaran dan
beramal kebajikan dan hidup sebagai sufi. [12]
Selain mengajar dan menjalani kehidupan sufi, al-Ghazali juga terus
mendalami al-Qur'an dan Hadits, termasuk menekuni shahih Bukhari, shahih
Muslim dan Sunan Abu Dawud, meskipun di masa lampau, ia sudah banyak
mempelajari al Qur'an/tafsir dan Hadits.
Al-Ghazali wafat pada hari senin 14 Jumadi Akhir 505/ 18 Desember 1111 M,
dimakamkan di Tabaran, Tus. Demikianlah yang dapat kita
amati dan renungkan, bahwa al-Ghazali dilahirkan di Tus dan wafat juga di Tus,
setelah ia melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu al-yaqini.
B.
Karya-karya
Al-Ghazali
Imam Az-Dzarkali menuturkan dalam kitanya “Al-A’lam”, bahwa
al-Ghazali melahirkan sekitar 200 karya, di antaranya adalah “Yaqut
at-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil” yang terdri dari 40 jilid. Sedangkan
perhitungan as-Subki di kitabnya “Tabaqat as-Syafi’iyah” lebih dari 50
karya.
Adapun karya yang tidak sah di nisbatkan kepada al-Ghazali, menurut
az-Zubaidy adalah; As-Sirrul Maktum Fi Asrarin Nujum, Tahsin ad-Dzunun,
An-Nafkhu wat Taswiyah, Al-Madlmun bihi ‘Ala Ghari Ahlihi.[13]
Menurut Dr. Sulaiman Dunya, karya beliau mengerucut pada; 1. Ilmu
Kalam. 2. Filsafat Rasional (Falsafah ‘Aqliyah). 3. Madzhab Ahli
At-Ta’lim. 4. Tasawuf dan Filsafat Spritual (Falsafah Ruhy)[14].
Dengan
uraian sebagi berikut;
1.
Tentang Ushul
fiqih; Al-Mankhul, Al-Mustashfa, Tahdzibul Ushul.
2.
Tentang
Filsafat, ilmu Kalam, dan Mantiq; Maqashidul Falsafah, Tahafatul Falasifah,
al-Munqidz Mina al-Dlalal, al-Iqtishad fil I’tiqad, Fayshal al-Tafriqah, Qawaid
al-‘Aqaid, al-Maqshad al-Asna fi Syarhi Asmaillah al-Husna, Mi’yar al-Ilm,
Mahakku al-Nadzar, al-Qishtas al-Mustaqim, Iljam al-‘Awam ‘an Ilmil Kalam,
Jawahir al-Qur’an, Kimiyau al-Sa’adah, Ma’arij al-Quds, Misykat al-Anwar.
3.
Tentang
Tasawuf, Akhlak, Pendidikan, Ilmu Jiwa dan Sosial; Ihya’ Ulumiddin, Minhaj
al-‘Abidin, Bidayah al-Hidayah, Mizan al-‘Amal, Mi’raj al-Salikin, Ayyuhal
Walad.
4.
Tentang
perbandingan agama; Al-Qaul al-Jamil fir Raddi ‘Ala Man Ghayyara
al-Injil, Fadlaih al-Bathiniyah, Hujjatul Haq, Mafshal al-Khilaf[15].
C.
Pemikiran
pendidikan Islam menurut Al-Ghazali
Sistem pendidikan Al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu
pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failasuf
al-Mutasawwifin) Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu
kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem
pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikannya al-Ghazali sebenarnya terletak
pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.[16]
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan
dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqorrub
kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan
kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk
mendekaykan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan.
Al-Ghazali
berkata: “hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, dan
menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam
arwah, itu semua adalah keberasan, pengaruh penerintahan bagi raja-raja dan
penghormatan secara naluri”
Rumusan
tujuan pendidikan didasarkan kepada firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan
manusia yaitu:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56).
Menurut
al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang
dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui pengajaran.
Kesimpulan
tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan kedalam beberapa
point berikut: 1) Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan
dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. 2) Menggali dan
mengambangkan potensi atau fitrah manusia. 3) Mewujudkan profesionalisasi
manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4) Membentuk
manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela. 5) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi
manusia yang manisiawi
2.
Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum
dimaksudkan disini adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperangkat ilmu
yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan
yang telah dirumuskan. Pandangan Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dipahami
dari pandangan mengenai Ilmu Pengetahuan.[17]
Kurikulum
pendidikan yang disusun al-ghazali sesuai pandangannya mengenai tujuan
pendidikan yakni mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan tolak ukur
manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu pengetahuan. Mengurai kurikulum
pendidikan menurut al-ghazali, ada dua hal yang menarik bagi kita. Pertama,
pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang sangat terperinci dalam segala
aspek yang terkait dengannya. Kedua, pemikiran tentang manusia dengan
segala potensi yang dibawanya sejak lahir.
3.
Faktor
Pendidikan
a.
Pendidik
Dalam proses pembelajaran,
Al-Ghazali berpandangan bahwa Pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi
pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan prosesi pendidikan.[18]
Dalam hal ini al-ghozali berkata: “makhluk
yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia
penampilanya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan,
mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntutnya untuk dekat kepada
Allah”. Dia juga berkata; “seseorang yang berilmu dan kemuudian bekerja dengan
ilmunya itu, dialah yang dinamakn oranbg besar dibawah kolong langit ini. Ia
bagai matahari yang menyinari orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya.
Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum. “
b.
Peserta
Didik
Al-ghazali
berkata: “Seorang pelajar hendaknya tidak menyobongkan diri dengan ilmunya dan
jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya kepada guru dengan
keyakinan kepada segala nasihatnya sebagaimana seoorang sakit yang bodoh yakin
kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang pelajar itu
tunduk kepada gurunya, mengaharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk
kepadanya.”
Ramayulis
dalam bukunya “Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam”[19]
menyebutkan beberapa sikap peserta didik yang harus diaplikasikan, diantaranya;
pertama, peserta didik arus bersikap memuliakan pendidik dan rendah hati
serta tidak takabbur. Kedua, peserta didik harus merasa satu bangunan
dengan peserta didik lainnya. Sebagai satu bangunan, maka peserta didik harus
saling menyayangi, tolong menolong sesama. Ketiga, peserta didik harus
menjauhkan diri dari membaca mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam
pikiran. Dan keempat, peserta didik tidak hanya mempelajari satu ilmu
pengetahuan saja, tapi semua jenis ilmu pengetahuan yang bermanfaat harus
dipelajari.
4.
Metode
dan Media
Metode dan
media yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis,
sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran.
Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajarannya.
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan
metode pengajaran. Misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhlah,
pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil nagli
dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat digunakan
dalam pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian (reward) dan hukuman (punishment),
di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang
mulia (kondusif).
5.
Proses
Pembelajaran
Al-Ghazali
mengajukan konsep integrasi antara materi, metode dan media atau alat
pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin,
sehinggga dapat menumbuhkembangkan segala potensi fitrah anak, baik dalam hal
usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi
materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam
kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang
dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik
diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syariat, terutama al-Qur’an.
D.
Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali
Dalam pandangan Al Ghazali, ilmu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
pertama, Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu
ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti
ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al Ghazali menilai ilmu tersebut
tercela karena terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan). Kedua,
Ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat
kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang mengajarkan
manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu
yang diridhoi-Nya. Bagi Al Ghazali, ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu tentang
cara mengamalkan amalan yang wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan
sebagainya. Sedangkan ilmu yang wajib kifayah adalah setiap ilmu yang tak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu ilmu kedokteran dan
ilmu hitung.
Ketiga, Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan
tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dapat menyebabkan kekacauan
dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kepada
kekafiran seperti ilmu filsafat. Al Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang
paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena dapat dikuasai
melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih.
E.
Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali
Berangkat dari keyakinan bahwa Akhlaq dapat berubah dan di bentuk
melalui pendidikan dan proses usaha keras (Mujahadah), latihan jiwa (Riyadlah),
pensucian jiwa dari sifat jelek (Tazkiyah), Al-Ghazali menegaskan tiga hal penting;
Pertama,
perbedaan pandangannya dengan kelompok Jabariyah[20].
Al-Ghazali berargumen, bahwa jika akhlak tidak dapat di rubah, maka peringatan,
pendidikan Adab dan pesan yang di sampaikan agama tidak ada artinya. Padahal
jelas, misalnya sabda Rasul tentang kewajiban memperbaiki Akhlak. Dan fakta
bahwa ternyata bukan hanya manusia yang dapat menerima perubahan karakternya,
namun juga hewan seperti anjing yang buas, menjadi penurut. Jika akhlak hewan
saja dapat berubah, kenapa manusia tidak?[21].
Kedua, hubungan yang tidak dapat terlepas antara pembentukan akhlak
dengan agama. Melalui pendapatnya bahwa, jika akhlak tidak dapat di bentuk
seperti persangkaan kaum Jabariyah, maka, ada tidaknya agama tidak menjadi
penting. Pesan, peringatan dan didikan agama akan menjadi sia-sia, Al-Ghazali
ingin menegaskan bahwa pembentukan
akhlak kiranya harus di dasarkan kepada ajaran agama, karena ia sendiri
merupakan sarana untuk mendapat keridlaan Allah. Hal ini berbeda dengan
pandangan kalangan pendidik modern yang menyatkan bahwa akhlak haruslah di
dasarkan kepada nilai dan morma sosial yang berlaku.
Ketiga, pentingnya peran guru dalam pembentukan akhlak. Di akui dalam
dunia pendidikan, bahwa peran guru dalam membentuk kepribadian anak didik
sangatlah penting dan menentukan. Misalnya para pakar seperti Al-Hazimy, Abu
Lawi, Abul Hasan An-Nadwi dan para pakar pendidikan modern, ketika
menjelaskan tentang metode pendidikan, faktor keteladanan (Qudwah) guru
menjadi sangat penting. Ketika pendidikan modern meyakin kalau anak didik
cenderung mengikuti perilaku gurunya karena ia adalah peniru paling ulug, maka
harus di sepakati jika peran guru sangatlah penting.
Dalam hal ini al-Ghazali berpendapat, mencari guru yang dapat
mengantarkan anak didik menuju kepribadian yang suci dengan menghapuskan akhlak
yang jelek, sangatlah penting. Guru ibarat petani yang menyingkirkan duri dari ladangnya dan merawat tanamnnya dengan
baik baik, agar dari ladang tersebut, dapat menghasilkan buah yang baik dan
sempurna[22].
Jadi, guru mempunyai tugas yang berat
yaitu mengantarkan anak didik berakhlak mulia, dan menggali potensinya. Guru
harus menguasai ilmu agama terkait pembentukan akhlak dan ilmu seputar
penggalian potensi anak didik tersebut.
F.
Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali
Ketika manusia mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk
kemakmuran dunia, maka dia membutuhkan pendidikan yang menyeluruh dalam setiap
aspek dan setiap fase dalam kehidupannya dalam rangka kemakmuran tersebut.
Kalau di Tanya, kapan dia memulai pendidikannya? Mungkin jawaban yang paling bijak
adalah; saat dia mampu menerima pendidikan. Mulai dari usia dini di Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), Remaja di
Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan usia Remaja di Sekolah Menengah Atas (SMA)
hingga menuju pendidikan tingkat tinggi di Universitas.
Al-Ghazali melihat bahwa pendidikan
anak usia dini sangatlah penting, karena pembentukan kepribadian sejak kecil,
akan berdampak kepada fase kehidupan setelahnya, menancap dalam, seperti
lukisan di atas batu.[23]
Di mulai dari pendidikan keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk pembelajarannya, misalnya; dengan tidak membiasakan hidup dalam
kenikmatan dan mengisi fitrahnya dengan bacaan al-Qur’an, memberikan hadiah dalam setiap tingkah laku
dan tindakan yang baik dari anak untuk menancapkan rasa percaya diri dalam
dirinya, tidak menonjolkan kesalahan yang ia buat serta memberikan izin kepada
anak untuk bermain dan beristirahat sekedarnya, karena melarang bermain bagi
anak akan mematikan rasa dari hatinya dan menghancurkan potensi kecerdasannya.[24]
Kemudian di lanjutkan dengan
pemahaman tentang kewajiban dan hikmah
yang terkandung di dalamnya serta larangan dan alasan di jauhinya. Tentang
kewajiban misalnya, seperti: 1) Berbakti kepada kedua orang tua, dan
menghormati yang lebih tua. 2) Memperlakukannya dengan penuh kemuliaan,
seperti, dengan tidak iktu serta bermain dengannya. 3) Tidak memberikan
toleransi saat meninggalkan sholat. 4) Melatih puasa ketika bulan Ramadlan. 5)
Melarang memakai pakaian dari sutera dan emas. 6) Memberikan pemahaman tentang
kewajiban yang harus di lakukan seperti sholat dan lainnya. Sedangkan tentang
larangan yang harus di jauhi seperti; mencuri, memakan barang haram,
berkhiantan, berbohong dan lainnya.[25]
G.
Relevansi
Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era Modern
1.
Tujuan
Pendidikan Islam. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui
dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan
yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri
kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia
akhirat. Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi
berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya
membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini
berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki
koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan
seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2.
Materi
Pendidikan Islam. Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan
menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai
yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa
ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat
dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak
merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan
pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan
saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik
misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat
disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan
disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi
yang satu ini sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan
Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan
Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini,
ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara
umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali
merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan
yang dikotomi seperti itu.
3.
Metode pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali
secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun
secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut
Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian
dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil
dan keterangan yang menunjang penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
III. IKHTITAM/KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas berikut ini akan dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami
hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan
bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan deniukian kesan
Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak dibidang ruhani dan
perasaan jiwa.
2. Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan social bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insane kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan diakhirat kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
3. Materi pendidikan isalam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berisiskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. Al-Munqidz
Mina Ad-Dlalal. Darul Andalus
Al-Ghazali. Fatihatul
Ulum. 1322 H. Mesir: Al-Husainiyah Al-Misriyah
Al-Ghazali. Ihya’
Ulumuddin, I dan III. 1991. Beirut: Darul Fikr
Al-Qardlawy, Dr. Yususf. Al-Imam Al-Ghazali Baina Madihihi Wa
Naqidlihi. 1994 M/1414 H. Beirut: Muassasah al-Risalah
Amin, Mustafa. Tarikhut al-Tarbiyah.
1974. Mesir: al-Ma’arif
As-Subki,
Tajuddin. Tabaqat as-Syafiiyyah al-Kubra. Kairo: Isa Al-Baby Al-Halaby
As-Syamy, Sholeh Ahmad. Al-Imam Al-Ghazali Hujjatul Islam Wa
Mujaddidul Miah Al-Khamisah. 1993. Damaskus: Darul Qalam
Az-Zubadi, Muhammad Husein. Ittihafus Sadatil Muttaqin Bi Syarhi
Ihya’ Ulumuddin. 1991. Beirut: Darul Fikr
Dunya,
Sulaiman. Al-Haqiqah Fi Nadzril Al-Ghazali. 1965. Mesir: Darul Maarif
Hoeve, Van. Ensiklopedi Islâm. 1994.
Jakarta: Ichtiar Baru
Madjidi,
Busyairi. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim. 1997. Yogyakarta:
Al-Amin Press
Mubarak, Dr. Zakki.
Al-Akhaq. 1965. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah
Qadli, Dr. Ahmad Arafat. At-Tarbiyah Wa Al-Siyasah ‘Inda Abi
Hamid Al-Ghazali. Kairo: Daru Quba’
Qadli, Dr. Ahmad Arafat At-Tarbiyah Wa Al-Siyasah ‘Inda Abi
Hamid Al-Ghazali. 2000. Mesir: Daru Quba’
Ridla,
Muhammad. Abu Hamid al-Ghazali. 1403. Beiru: Darul Iqra’
Tahqiq, Al-Ghazali dan Ali Muhyiddin. Ayyuhal Walad. 1985.
Beirut: Darul Basyair al-Islamiyah
Watt, W.
Mongemery. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islâm (terjemahan Umar
Basahin). 1987. Jakarta: P3M 139
[1] Lihat Al-Imam
Al-Ghazali Hujjatul Islam Wa Mujaddidul Miah Al-Khamisah, Damaskus; Darul
Qalam 1993, hlm. 6.
[2] Di kutip oleh
Dr. Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nadzaril Ghazali, (Mesir; Darul
Ma’arif, 1965), hlm.9-10.
[4] Lihat Tajuddin
As-Subki, Tabaqat as-Syafiiyyah, juz.4, hlm102.
[5] Sulaiman Dunya,
Al-Haqiqah Fi Nadzril Al-Ghazali, hlm.19.
[6] Lihat Muhammad
Ridla, Abu Hamid al-Ghazali, hlm.6.
[7] Busyairi Madjidi, 1997. Konsep Kependidikan
Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press. Hlm. 80.
[8] Lihat
Az-Zubadi, Ittihafus Sadatil Muttaqin Bi Syarhi Ihya’ Ulumuddin, Juz. 1,
hlm.19.
[9] Ibid
Juz. 1, hlm.7
[10] W. Mongemery Watt, 1987. Pemikiran Teologi
dan Filsafat Islâm (terjm. Umar Basahin, Jakarta: P3M. 139.
[11] Ghazali, Al-Munqidz
Mina Ad-Dlalal,(Darul Andalus), hlm.112.
[13] Lihat
Az-Zubadi, Ittihafus Sadatil Muttaqin Bi Syarhi Ihya’ Ulumuddin, Juz. 1,
hlm.43.
[14] Sulaiman
Dunya, Al-Haqiqah Fi Nadzril Al-Ghazali, hlm.65.
[15] Dr. Yususf
Al-Qardlawy, Al-Imam Al-Ghazali Baina Madihihi Wa Naqidlihi,(Beirut;
Muassasah al-Risalah, 1994 M/1414 H), hlm.17.
[16] Prof. Dr. H.
Ramayulis. 2005. Ensiklopedi Toko Pendidikan Islam (Mengenal Tokoh Pendidikan
di Dunia Islam dan Indonesia. Quantum Teaching. Ciputat, hlm. 5
[17] Prof. Dr. H.
Ramayulis. 2005. Ensiklopedi Toko Pendidikan Islam (Mengenal Tokoh Pendidikan
di Dunia Islam dan Indonesia. Quantum Teaching. Ciputat, hlm. 6
[18] Ibid. hlm.9
[19] Prof. Dr. H.
Ramayulis mengutip dari kitab Minhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah karya Muhammad
Quthb yang diterbitkan oleh Dar al-Arqaam Mesir.
[20] Kelompok yang
berkeyakinan bahwa akhlak tidak dapat berubah dan semuanya atas kehendak Allah,
manusia tidak punya sedikit kuasa dalam bentuk apapun untuk merubah kehendak
Allah.
[21] Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, Juz III, hlm.56.
[22] Al-Ghazali, Ayyuhal
Walad,hlm.17.
[23] Ibid,
juz 1, hlm.71.
[24] Ibid,
juz 3, hlm.70-71.
[25] Dr. Ahmad
Arafat Qadli, At-Tarbiyah Wa Al-Siyasah ‘Inda Abi Hamid Al-Ghazali,hlm,60.